Victor Alexander Liem |
(Eksplorasi tentang Urip iku Mung Mampir Ngombe, Jembar Segarane dan Nang-Ning-Nung)
Oleh: Victor Alexander Liem
Sejak kecil saya tinggal dirumah tante. Biaya hidup hingga biaya pendidikan dibantu oleh tante saja. Saya beruntung bisa kuliah hingga perguruan tinggi.
Pada waktu masih kecil saya diajarkan orang tua jika saya bisa hidup seperti ini karena 'nunut urip' (menumpang hidup saja). Karena cuma menumpang maka jangan berlebihan. Awalnya sebagai anak kecil saya protes. Mengapa saya tidak seperti anak lainnya yang bisa beli ini dan itu? Namun akhirnya saya menuruti nasihat tersebut karena seiringan memahami bahwa memang harus tahu diri. Jangan mentang-mentang ada yang membiayai malah bersifat aji mumpung.
Setelah lulus kuliah dan bekerja, saya bisa mandiri dalam mencukupi kebutuhan saya. Awalnya saya bangga bisa beli ini dan itu, walau bukan dari kelas yang berada. Sebagai karyawan yang mulai mandiri, tentu bangga karena yang semula 'nunut urip' sekarang bisa 'nguripi awake dewe'.
Hingga saya sadar bahwa 'urip iku mung mampir ngombe'. Pepatah Jawa ini mengingatkan bahwa hidup itu hanya ibarat mampir minum dalam suatu perjalanan yang panjang. Hidup hanya sementara, selalu datang dan pergi. Jika saya terlalu melekati dan terobsesi memiliki ini dan itu, maka saya tidak akan bisa menerima sifat kesementaraan dalam hidup. Tidak soal merasa 'nunut urip' atau sudah bisa 'nguripi', tapi sejatinya kita masih 'nunut'. Kita hanya sekedar numpang lewat. Suka duka silih berganti, ya memang itu saja prosesnya.
Sekedar numpang lewat itu ajaran yang mendalam. Pernah seorang anak muda bertanya dengan seorang sepuh.
"Apabila cuma numpang lewat, lalu apa yang membedakannya dengan orang bijaksana."
Seorang sepuh yang bijaksana ini menjawab. "Suka duka itu memang numpang lewat saja. Yang membedakannya antara orang awam dengan yang bijaksana adalah sikap bathinnya. Yang awam, suka duka ditanggapi dengan gejolak. Pada saat suka, dia senang dan kehilangan kendali. Pada saat duka, dia merasa paling sial dan meratapi keadaan dirinya, bahkan mulai menyalahkan keberadaan oranh lain. Duka juga ditanggapi dg kehilangan kendali. Berbeda dengan orang bijaksana. Orang bijaksana dalam menghadapi suka duka adalah dengan bathin yang tenteram."
Ketenteraman hati itu sering dianalogikan seperti samudera yang luas. Orang Jawa menekankan sikap 'jembar segarane'. Bathinnya sedalam dan seluas samudera. Samudera itu dipermukaannya penuh gejolak. Ombak tidak bisa diprediksi. Kadang tenang, kadang begitu berombak menjulang. Selain itu berbagai aliran sungai berakhir disamudera. Samudera itu selalu menerima semuanya, namun di kedalamannya samudera itu selalu diam, hening dan damai.
Memahami permukaan sebagai numpang lewat saja, maka kita tidak banyak menghabiskan waktu untuk memprotes, menyesal, atau terobsesi pada hal-hal yang cuma permukaan. Sebagai gantinya, kita tercurahkan pada kedalaman bathin.
Jika kita mengarahkan ke dasar bathin, maka kita akan semakin Neng, lalu Ning dan Nung.
Neng artinya meneng. Bathin semakin diam karena tidak menyibukkan diri pada hal-hal permukaan. Jika sudah Neng, maka dengan sendirinya akan Ning. Ning artinya wening. Inilah keheningan. Dalam keheningan kita akan melihat segala sesuatu dengan jelas. Dan kejelasan ini membuat kita menjadi Nung. Nung artinya Dhunung. Paham, mengerti, bijaksana melalui pengalaman bathin, bukan lagi pengetahuan dari orang lain.
Ternyata dari pemahaman tentang numpang lewat bisa berhubungan dengan pitutur lainnya. Nampaknya saya masih perlu belajar lagi.
Comments
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Jejak Suhu. Salam.